Fungsi Pakaian Adat Provinsi Yogyakarta Kanigaran dan Kebaya Ksatrian
27 March 2018
Add Comment
Pakaian Adat
Provinsi Yogyakarta
gambar dari google
METIF Media Edukatif-Daerah Istimewa Yogyakarta adalah salah satu provinsi yang
yang memiliki banyak sekali budaya, sehingga tidak salah jika julukan kota
budaya juga turut di sematkan pada Provinsi Yogyakarta ini.
Kekayaan budaya
tersebut diantaranya adalah pakaian adat yang akan saya bahas sedikit pada blog
metif ini.
Kelengkapan
berbusana adalah sebut ciri utama yang memberikan status sosial dan identitas
bagi para pemakainya, dan fungsi atau penggunaannya juga turut disesuaikan
dengan acara-acara tertentu, dan sesuai pula dengan status sosial sang pengguna.
Kraton Yogyakarta
sebuah pusat pemerintahan , dan merupakan lembaga yang resmi, dan di kraton ini
terdapat seorang Raja serta para kerabat, sitem pemerintahan kerajaan dapat
terlihat dari pakaian adat yang dikenakan oleh masyarakat di lingkungan kraton.
Ciri-ciri dan Fungsi Pakaian Adat
Yogyakarta
Pada mulanya
hanya di pakai sebagai pakaian pelindung tubuh terhadap cuaca panas atau
dingin, seiring perkembangannya Fungsi pakaian adat semakin beragam pula,
diantaranya adalah sebagai penutup aurat, sebagai unsur pelengkap pada
acara-acara upacara adat tertentu.
Pada masyarakat bangsawan di Yogyakarta, pakaian adat memiliki
fungsi praktis, estetis, religius, sosial dan simbolik, hal tersebut dapat kita
lihat dari pakaian kebaya, dimana kebaya memiliki fungsi praktis sebagai
pakaian pelindung yang menghangatkan tubuh, fungsi estetis, adalah sebagai penghias
tubuh agar tampak lebih anggun, cantik serta menarik, fungsi sosial adalah untuk
menjaga kehormatan diri seorang wanita agar terhindar dari perilaku-perilaku yang
tidak baik, sehingga pemakaian pakaian untuk wanita di buat serapat mungkin, pemasangan stagen sekuat mungkin agar tidak mudah terbuka.
Sedangkan bahan yang di gunakan untuk membuat pakaian adat
Kanigaran ini adalah terbuat dari bahan katun, sutera, kain sunduri, nilon,
lurik, atau bahan-bahan estetis lainnya.
Sedang pakaian adat yang berupa kebaya panjang bisanya terbuat
dari bahan beludru, brokat, sutera atau nilon bersulam sedangkan teknik
pembuatan kainnya adalah dengan beberapa cara diantaranya adalah dengan ditenun,
dirajut, dibatik, dicelup dan lain-lain.
Seiring dengan perkembangan zaman pakaian adat khusus seperti diatas
lama kelamaan tidak dikenakan secara lengkap, apalagi pada masa penjajahan
Jepang dulu, ekonomi masyarakat semakin sulit sehingga penggunaan pakaian adat
juga tidak serta merta selengkap aslinya.
Dan setelah Negara Indonesia merdeka, pakaian adat khas Kraton Yogyakarta ini mendapat perhatian dari pemerintah
sehingga keberadaannya juga tetap lestari hingga saat ini, kendati demikian
pada masa itu sang pemakainya juga hanya orang-orang tertentu saja, dimana
pemakaiannya disesuaikan dengan kepangkatan atau status sosial, dan pada saat
itu pakaian adat Kraton Yogyakarta semakin banyak dikenal oleh masyarakat Yogyakarta,
lambat laun pakaian khas Yogyakarta ini resmi dikenal sebagai pakaian adat tradisional. dan
selanjutnya pakaian adat ini di terima oleh kalangan masyarakat jawa yang
tinggal di daerah istimewa yogyakarta sebagai pakaian khas daerahnya sendiri dan
sekaligus lambang identitas sosial masyarakat Yogyakarta.
Pakaian Kraton Yogyakarta kini sudah sangat jarang sekali
kita jumpai, kecuali pada acara-acara adat tertentu saja, dan ditengah
acara-acara tertentu itu pakaian Kraton Yogyakarta ini akan muncul secara menarik dan
berwibawa, agar keunikan serta kekayaan warisan leluhur ini tetap lestari dan
tidak akan hilang digerus oleh perkembangan zaman.
Bagian-bagian Pakaian Adat Kraton Yogyakarta
Pakaian Adat Kraton Yogyakarta terdiri dari beberapa unsur yang tidak
dapat dipisahkan satu sama lain, karena seperangkat kelengkapan itu adalah
merupakan ciri khas khusus sebagai lambang status atau identitas, sehingga pemakaiannya
juga disesuaiakan dengan tatacara pemakaian yang sudah baku secara adat,
aturan-aturan pemakaiannya itu diantaranya adalah kapan dikenakan, di mana
dikenakan, dan siapa yang mengenakannya.
Secara umum pakaian adat Kraton Yogyakarta
terdiri dari beberapa bagian diantaranya
adalah, bagian atas ,tengah, serta bagian bawah, pada bagian atas meliputi tutup
kepala serta rias rambut disanggul, rias rambut konde, dan lain-lain.
Dibagian tengah meliputi baju kebaya serta perlengkapan aksesori,
dan di bagian bawah di lengkapi dengan sepatu selop.
Pakaian adat yang dipakai juga di Lingkungan kerajaan Yogyakarta
juga dibeda-bedakan Berdasarkan aturan adat yang berlaku, ada yang dipakai
untuk keseharian yang dipakai sehari-hari dirumah, saat bekerja atau pun sedang
akan bepergian, dan ada pula yang digunakan pada acara-acara pesta adat
tertentu, dan golongan pemakainya juga terbagi menjadi beberapa golongan, yaitu
golongan menurut jenis kelamin, usia serta status sosial pakaiannya.
Busana yang dikenakan oleh putra putri sultan juga dibedakan, agar
tapak berbeda status sosialnya dengan individu lain.
Busana yang didesain untuk anak-anak terdiri atas busana kencongan yang di
kenakan khusus untuk anak laki-laki, model busana anak laki-laki adalah kencongan
yang terdiri dari kain batik yang dikenakan dengan model kencongan, baju
surjan, lonthong tritik, ikat pinggang berupa kamus songketan dengan cathok
atau timang terbuat dari suwasa atau pun emas dengan kadar rendah, sedangkan busana yang dipakai untuk
keseharian oleh anak putra remaja atau dewasa terdiri dari baju surjan, kain
batik yang diwiru pada bagian tengah, lonthong tritik, kamus songketan, timang,
serta di bagian kepala menggunakan dhestar sebagai penutupnya.
Sedangkan untuk anak perempuan memakai busana yang diberi nama sabukwala,
sabukwala padintenan dipakai oleh anak
perempuan dengan usia 3-10 tahun, ragam busananya terdiri dari kain nyamping motif batik,
baju kebaya bahan kain katun, ikat pinggang kamus songketan bermotif flora atau fauna, dilengkapi
dengan lonthong tritik, serta mengenakan
cathok dari perak dengan bentuk kupu-kupu, burung garuda, atau merak.
Sedangkan untuk perhiasan pelengkap adalah subang atau
anting-anting, kalung emas dengan liontin berbentuk dinar, gelang berbentuk ular , atau model sigar penjalin, untuk anak perempuan
yang memiliki rambut panjang maka rambutnya akan di rias sanggul dengan model
konde.
Untuk jenis kain yang dibuat adalah kain bermotif parang, ceplok,
atau gringsing.
Anak remaja putri juga mengenakan busana yang disebut pinjung, busana pinjung dipakai
dengan cara melipat bagian ujung kain yang
berada di sebelah dalam kemudian dibentuk segitiga dan ini digunakan sebagai
penutup dada, penutup dada ini memiliki panjang dari dada hingga di atas pusar,
kemudian untuk lipatan kain wiru berada di sebelah kiri, dan ini menandakan
bahwa status social dari anak tersebut adalah seorang putri seorang Sultan atau pun
cicit Sultan.
Komponen atau bagian-bagian busan pinjung padintenan ini terdiri dari
kain batik,tanpa dilengkapi busana jenis baju, lonthong tritik, kamus
songketan, udhet tritik semacam selendang tetapi memiliki fungsi sebagai hiasan
pinggang, sedang untuk perlengkapan perhiasannya terdiri dari subang atau
anting-anting, kalung berliontin mirip uang dinar, gelang, sanggul tekuk polos.
Bagi putri yang sudah dewasa dalam kesehariannya memakai busana yang disebut
dengan semekanan, semekanan adalah berupa kain panjang yang lebarnya separuh
dari lebar kain panjang biasa, dan semekanan
berfungsi untuk penutup dada, bagian-bagian busana ini terdiri dari kain menyamping
bermotif batik, baju kebaya dengan bahan kain katun, semekan tritik, serta dilengkapi
dengan ornamen perhiasan berupa subang atau anting-anting , gelang, serta di
bagia jarinya dipasagkan cincin, sanggul yang digunakan memiliki bentuk sanggul
tekuk polos tanpa diberi hiasan.
Busana harian bagi putri seorang raja yang sudah menikah adalah terdiri dari semekan tritik dengan
tengahan, baju kebaya berbahan katun, kain motif batik dan sanggul tekuk polos tanpa hiasan.
Sedangkan Perhiasannya berupa subang atau anting-anting, cincin, dan
sapu tangan berwarna merah.
Selain busana yang sudah di jelaskan di atas , ada juga busana
yang lain yang di gunakan pada acara-acara tertentu busana tersebut adalah Busana
Kebesaran yang di pergunakan pada Untuk Upacara Ageng.
Upacara Gedean adalah kegiatan seremonial pada sebuah rangkaian
acara, diantaranya adalah acara-acara Supitan (sunatan) perkawinan, garebeg,
tingalan dalem tahunan, jumenengan dalem, Agustusan, serta sedan adalah
serangkaian acara pemakaman jenazah raja, busana kebesaran yang dipakai pada acara-acara tersebut adalah busana
keprabon, yang mana busana ini bersifat khusus dikenakan para putra Sultan,
adapun jenis-Jenis busana ini terdiri dari busana dodotan, kanigaran, dan
kaprajuritan.
Bagian-bagian busana dodotan ini meliputi kuluk biru yang
berhiaskan mundri kampuh konca setunggal, dan cindhe gubeg, moga renda warna
kuning, pethat jeruk sak ajar, rante, karset, kamus, timang , dan keris
branggah. Busana ini umum dipakai saat upacara garebeg, jumenengan dalem atau
penobatan raja, serta pisowanan dalam di saat acara perkawinan.
Adapun kelengkapan busana kanigaran secara umum sama dengan yang
di pakai pada pakaian adat Yogyakarta yang lain, yaitu terdiri dari busana dodotan yang pemakaiannya dilengkapi
dengan baju sikepan bludiran. Jenis busana ini sering dipakai pada upacara
Agustusan, tingalan dalem tahunan, supitan atau sunatan, serta resepsi
perkawinan.
Demikianlah
artikel tentang Pakaian Adat Provinsi
Yogyakarta Kanigaran dan Kebaya Ksatrian kali ini, semoga bermanfaat, dan
salam Metif Media Edukatif.
0 Response to "Fungsi Pakaian Adat Provinsi Yogyakarta Kanigaran dan Kebaya Ksatrian"
Post a Comment