Fungsi Pakaian Adat Provinsi Yogyakarta Kanigaran dan Kebaya Ksatrian

Pakaian Adat Provinsi Yogyakarta
 gambar dari google

METIF Media Edukatif-Daerah Istimewa Yogyakarta adalah salah satu provinsi yang yang memiliki banyak sekali budaya, sehingga tidak salah jika julukan kota budaya juga turut di sematkan pada Provinsi Yogyakarta ini.
Kekayaan budaya tersebut diantaranya adalah pakaian adat yang akan saya bahas sedikit pada blog metif ini.

Kelengkapan berbusana adalah sebut ciri utama yang memberikan status sosial dan identitas bagi para pemakainya, dan fungsi atau penggunaannya juga turut disesuaikan dengan acara-acara tertentu, dan sesuai pula dengan status sosial sang pengguna.

Kraton Yogyakarta sebuah pusat pemerintahan , dan merupakan lembaga yang resmi, dan di kraton ini terdapat seorang Raja serta para kerabat, sitem pemerintahan kerajaan dapat terlihat dari pakaian adat yang dikenakan oleh masyarakat di lingkungan kraton.

Ciri-ciri dan Fungsi Pakaian Adat Yogyakarta
Pada mulanya hanya di pakai sebagai pakaian pelindung tubuh terhadap cuaca panas atau dingin, seiring perkembangannya Fungsi pakaian adat semakin beragam pula, diantaranya adalah sebagai penutup aurat, sebagai unsur pelengkap pada acara-acara upacara adat tertentu.

Pada masyarakat bangsawan di Yogyakarta, pakaian adat memiliki fungsi praktis, estetis, religius, sosial dan simbolik, hal tersebut dapat kita lihat dari pakaian kebaya, dimana kebaya memiliki fungsi praktis sebagai pakaian pelindung yang menghangatkan tubuh, fungsi estetis, adalah sebagai penghias tubuh agar tampak lebih anggun, cantik serta menarik, fungsi sosial adalah untuk menjaga kehormatan diri seorang wanita agar terhindar dari perilaku-perilaku yang tidak baik, sehingga pemakaian pakaian untuk wanita di buat serapat mungkin, pemasangan stagen sekuat mungkin agar tidak mudah terbuka.
Sedangkan bahan yang di gunakan untuk membuat pakaian adat Kanigaran ini adalah terbuat dari bahan katun, sutera, kain sunduri, nilon, lurik, atau bahan-bahan estetis lainnya.
Sedang pakaian adat yang berupa kebaya panjang bisanya terbuat dari bahan beludru, brokat, sutera atau nilon bersulam sedangkan teknik pembuatan kainnya adalah dengan beberapa cara diantaranya adalah dengan ditenun, dirajut, dibatik, dicelup dan lain-lain.
Seiring dengan perkembangan zaman pakaian adat khusus seperti diatas lama kelamaan tidak dikenakan secara lengkap, apalagi pada masa penjajahan Jepang dulu, ekonomi masyarakat semakin sulit sehingga penggunaan pakaian adat juga tidak serta merta selengkap aslinya.
Dan setelah Negara Indonesia merdeka, pakaian adat khas Kraton Yogyakarta ini mendapat perhatian dari pemerintah sehingga keberadaannya juga tetap lestari hingga saat ini, kendati demikian pada masa itu sang pemakainya juga hanya orang-orang tertentu saja, dimana pemakaiannya disesuaikan dengan kepangkatan atau status sosial, dan pada saat itu pakaian adat Kraton Yogyakarta semakin banyak dikenal oleh masyarakat Yogyakarta, lambat laun pakaian khas Yogyakarta ini resmi dikenal sebagai pakaian adat tradisional. dan selanjutnya pakaian adat ini di terima oleh kalangan masyarakat jawa yang tinggal di daerah istimewa yogyakarta sebagai pakaian khas daerahnya sendiri dan sekaligus lambang identitas sosial masyarakat Yogyakarta.
Pakaian Kraton Yogyakarta kini sudah sangat jarang sekali kita jumpai, kecuali pada acara-acara adat tertentu saja, dan ditengah acara-acara tertentu itu pakaian Kraton Yogyakarta ini akan muncul secara menarik dan berwibawa, agar keunikan serta kekayaan warisan leluhur ini tetap lestari dan tidak akan hilang digerus oleh perkembangan zaman.
Bagian-bagian Pakaian Adat Kraton Yogyakarta
Pakaian Adat Kraton Yogyakarta terdiri dari beberapa unsur yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, karena seperangkat kelengkapan itu adalah merupakan ciri khas khusus sebagai lambang status atau identitas, sehingga pemakaiannya juga disesuaiakan dengan tatacara pemakaian yang sudah baku secara adat, aturan-aturan pemakaiannya itu diantaranya adalah kapan dikenakan, di mana dikenakan, dan siapa yang mengenakannya.
Secara umum pakaian adat Kraton Yogyakarta  terdiri dari beberapa bagian diantaranya adalah, bagian atas ,tengah, serta bagian bawah, pada bagian atas meliputi tutup kepala serta rias rambut disanggul, rias rambut konde, dan lain-lain.
Dibagian tengah meliputi baju kebaya serta perlengkapan aksesori, dan di bagian bawah di lengkapi dengan sepatu selop.
Pakaian adat yang dipakai juga di Lingkungan kerajaan Yogyakarta juga dibeda-bedakan Berdasarkan aturan adat yang berlaku, ada yang dipakai untuk keseharian yang dipakai sehari-hari dirumah, saat bekerja atau pun sedang akan bepergian, dan ada pula yang digunakan pada acara-acara pesta adat tertentu, dan golongan pemakainya juga terbagi menjadi beberapa golongan, yaitu golongan menurut jenis kelamin, usia serta status sosial pakaiannya.
Busana yang dikenakan oleh putra putri sultan juga dibedakan, agar tapak berbeda status sosialnya dengan individu lain.
Busana yang didesain untuk anak-anak terdiri atas busana kencongan yang di kenakan khusus untuk anak laki-laki, model busana anak laki-laki adalah kencongan yang terdiri dari kain batik yang dikenakan dengan model kencongan, baju surjan, lonthong tritik, ikat pinggang berupa kamus songketan dengan cathok atau timang terbuat dari suwasa atau pun emas dengan kadar rendah, sedangkan busana yang dipakai untuk keseharian oleh anak putra remaja atau dewasa terdiri dari baju surjan, kain batik yang diwiru pada bagian tengah, lonthong tritik, kamus songketan, timang, serta di bagian kepala menggunakan dhestar sebagai penutupnya.
Sedangkan untuk anak perempuan memakai busana yang diberi nama sabukwala, sabukwala padintenan dipakai  oleh anak perempuan dengan usia 3-10 tahun, ragam busananya terdiri dari kain nyamping motif batik, baju kebaya bahan kain katun, ikat pinggang kamus songketan bermotif flora atau fauna, dilengkapi dengan lonthong  tritik, serta mengenakan cathok dari perak dengan bentuk kupu-kupu, burung garuda, atau merak.
Sedangkan untuk perhiasan pelengkap adalah subang atau anting-anting, kalung emas dengan liontin berbentuk dinar,  gelang berbentuk ular ,  atau model sigar penjalin, untuk anak perempuan yang memiliki rambut panjang maka rambutnya akan di rias sanggul dengan model konde.

Untuk jenis kain yang dibuat adalah kain bermotif parang, ceplok, atau gringsing.
Anak remaja putri juga mengenakan busana yang disebut pinjung, busana pinjung dipakai  dengan cara melipat bagian ujung kain yang berada di sebelah dalam kemudian dibentuk segitiga dan ini digunakan sebagai penutup dada, penutup dada ini memiliki panjang dari dada hingga di atas pusar, kemudian untuk lipatan kain wiru berada di sebelah kiri, dan ini menandakan bahwa status social dari anak tersebut adalah seorang putri seorang Sultan atau pun cicit Sultan.
Komponen atau bagian-bagian busan pinjung padintenan ini terdiri dari kain batik,tanpa dilengkapi busana jenis baju, lonthong tritik, kamus songketan, udhet tritik semacam selendang tetapi memiliki fungsi sebagai hiasan pinggang, sedang untuk perlengkapan perhiasannya terdiri dari subang atau anting-anting, kalung berliontin mirip uang dinar, gelang, sanggul tekuk polos.
Bagi putri yang sudah dewasa dalam kesehariannya memakai busana yang disebut dengan semekanan, semekanan adalah berupa kain panjang yang lebarnya separuh dari lebar kain panjang biasa,  dan semekanan berfungsi untuk penutup dada, bagian-bagian busana ini terdiri dari kain menyamping bermotif batik, baju kebaya dengan bahan kain katun, semekan tritik, serta dilengkapi dengan ornamen perhiasan berupa subang atau anting-anting , gelang, serta di bagia jarinya dipasagkan cincin, sanggul yang digunakan memiliki bentuk sanggul tekuk polos tanpa diberi hiasan.
Busana harian bagi putri seorang raja yang sudah menikah  adalah terdiri dari semekan tritik dengan tengahan, baju kebaya berbahan katun, kain motif  batik dan sanggul tekuk polos tanpa hiasan.
Sedangkan Perhiasannya berupa subang atau anting-anting, cincin, dan sapu tangan berwarna merah.
Selain busana yang sudah di jelaskan di atas , ada juga busana yang lain yang di gunakan pada acara-acara tertentu busana tersebut adalah Busana Kebesaran yang di pergunakan pada Untuk Upacara Ageng.
Upacara Gedean adalah kegiatan seremonial pada sebuah rangkaian acara, diantaranya adalah acara-acara Supitan (sunatan) perkawinan, garebeg, tingalan dalem tahunan, jumenengan dalem, Agustusan, serta sedan adalah serangkaian acara pemakaman jenazah raja, busana kebesaran yang dipakai  pada acara-acara tersebut adalah busana keprabon, yang mana busana ini bersifat khusus dikenakan para putra Sultan, adapun jenis-Jenis busana ini terdiri dari busana dodotan, kanigaran, dan kaprajuritan.
Bagian-bagian busana dodotan ini meliputi kuluk biru yang berhiaskan mundri kampuh konca setunggal, dan cindhe gubeg, moga renda warna kuning, pethat jeruk sak ajar, rante, karset, kamus, timang , dan keris branggah. Busana ini umum dipakai saat upacara garebeg, jumenengan dalem atau penobatan raja, serta pisowanan dalam di saat acara perkawinan.
Adapun kelengkapan busana kanigaran secara umum sama dengan yang di pakai pada pakaian adat Yogyakarta yang lain, yaitu  terdiri dari busana dodotan yang pemakaiannya dilengkapi dengan baju sikepan bludiran. Jenis busana ini sering dipakai pada upacara Agustusan, tingalan dalem tahunan, supitan atau sunatan, serta resepsi perkawinan.
Demikianlah artikel tentang Pakaian Adat Provinsi Yogyakarta Kanigaran dan Kebaya Ksatrian kali ini, semoga bermanfaat, dan salam Metif Media Edukatif.


AdSense

0 Response to "Fungsi Pakaian Adat Provinsi Yogyakarta Kanigaran dan Kebaya Ksatrian"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel