Ciri-Ciri dan Keunikan Pakaian Adat Provinsi Nusa Tenggara Timur
02 May 2018
Add Comment
Pakaian Adat Provinsi Nusa Tenggara Timur
METIF Media Edukatif-Provinsi Nusa Tenggara Timur memiliki beberapa jenis
pakaian adat dengan bahan dasar kain tenun khas NTT, beberapa jenis pakaian adat
yang menjadi perwakilan icon daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur di dapat dari
3 latar belakang suku yang berbeda dan masing-masing suku memiliki perbedaan
pada pakaian adat yang dimiliki, namun perbedaan tersebut justru menjadikan NTT
lebih kaya akan ragam busana pakaian adat
nya.
Beberapa jenis
pakaian adat dari Provinsi Nusa Tenggara Timur diambil dari
suku bangsa Amarasi Kabupaten
Kupang, suku bangsa Sikka dari Flores, dan suku bangsa Sumba dari Sumba Timur.
Nah seperti apa penjelasan selengkapnya mari
kita simak di bawah ini ;
Penduduk suku Amarasi berada di
kabupaten Kupang, banyak sekali kebudayaan asing yang masuk ke wilayah ini,
namun penduduk suku Amarasi tidak pernah mempengaruhi kearifan kebudayaan local
yang berkembang secara turun temurun.
Kebudayaan dari leluhur suku Amarasi juga masih
terpelihara, hal ini tampak pada beberapa kebudayaan seperti ritual-ritual
upacara penghormatan kepada Usi Neo, dalam
kepercayaan masyarakat suku Amarasi Usi
Neo ini dikenal sebagai sebuah wujud tertinggi sang penguasa jagat
raya, serta di percaya yang menciptakan jagat raya beserta isinya.
Seperti yang admin singgung di awal tadi, bahwa pada dasarnya pakaain adat yang dipakai pada
upacara-upacara adat suku Amarasi ini adalah di buat dari bahan dasar kain tenun
yang di buat dengan teknik Futus atau
Sotis dan untuk memper indah penampilannya maka kain tenun tersebut di
padu dengan warna-warna lain diantaranya warna biru,merah bata, coklat, putih dan
lain-lain, dan pengenaan pakaian adat tersebut juga di padu dengan beragam
aksesoris perhiasan berupa pnutup kepala, hiasan telinga serta hiasan pinggang.
Secara umum pakaian adat bagi kaum pria suku Amarasi
adalah sama dengan yang digunakan oleh suku-suku lain di NTT, yaitu terdiri
atas Taimuti dan Po’uk, kendati demikian pada pakaian
adat suku Amarasi terdapat ciri-ciri khusus yakni pakaian tersebut di dominasi
menggunakan warna coklat serta pada bagian bet berwarna putih, dan pada bagian po'uk didesain bercorak
garis-garis panjang yang dengan paduan warna putih, biru, jingga dan merah
bata.
Untuk hiasan bagian kepala menggunakan Pilu
bermotif batik, sedangkan di bagian leher menggunakan aksesoris berupa logam
yang di ukir berbentuk lingkaran, aksesoris logam ini sering disebut dengan
nama
Iteke.
Selain perlengkapan diatas, kaum laki laki
suku Amarasi juga melengkapi pakaian yang dipakai dengan
menambahkan beberapa aksesoris berupa Kapisak atau Aluk yang terbuat dari
anyaman dedaunan, atau dapat juga menggunakan kain berbentuk persegi empat
geometris, aksesoris tersebut di tambahkan dengan tujuan agar pemakainya tampak
lebih berwibawa, tampak jantan betul, serta melambangkan kesucian budi bagi
yang mengenakannya.
Sedangkan
untuk pakaian utama yang dikenakan oleh para wanita suku Amarasi adalah Tais
serta Tarunat dengan corak garis-garis sempit warna jingga,biru tua
serta kuning yang di padukan dengan beberapa warna lain seperti corak ikat putih
dengan latar hitam maupun biru tua, dan pakaian tersebut dikenakan dari bagian
dada hingga mata kaki.
Selain
itu pada bagian lain di pasang dengan kain yang kedua berupa selendang tenun
yang di pasang di bagian dada dan membentuk huruf V dan kedua ujungnya berada di belakang bahu.
Sedangkan
bagian rambut disanggul, di beri hiasan tusuk konde serta Kili Noni, pada bagian
dahi di beri aksesoris berupa logam bulat berbentuk bulan sabit atau biasa di
sebut dengan nama Pato Eban.
Selanjutnya aksesoris hiasan untuk daun telinga berupa Falo Noni, selain itu juga
mengenakan Noni Bena atau kalung berbentuk bulat terbuat dari logam, emas,
perak atau emas sepuhan, sedangkan di bagian pergelangan tangan menggunakan Niti
Keke dan yang selanjutnya menggunakan Futi Noni yang disematkan di bagian pinggang.
Seperti
halnya daerah-daerah lain, corak –corak yang dibuat juga memiliki simbol-simbol tertentu seperti
pembeda status sosial dan lain-lain.
Kelompok
masyarakat Suku Sikka bermukim di wilayah kabupaten Sikka di Pulau Flores,
dengan kota besarnya Maumere, kebudayaan suku Sikka banyak dipengaruhi oleh
beberapa budaya asing seperti India, Belanda, Arab, dan Portugis, smentara itu
pakaian yang di kenakan dalam kehidupan sehari-hari sangat tampak sekali di
pengaruhi oleh kebudayaan Portugis dan Belanda hal tersebut tercermin pada
model busana barat yang akhir-akhir ini sering tampak dikenakan dalam kehidupan
sehari-hari.
Pakaian adat yang di kenakan oleh kaum pria Suku Sikka terdiri dari beberapa bagian
diantaranya baju penutup badan serta dilengkapi dengan aksesoris penutup
kepala, penutup badan atau terdiri atas Labu berwarna putih dengan lengan panjang dan
desain nya bergaya eropa.
Kemudian
juga dilengkapi dengan aksesoris Lensu Sembar yang
penggunaanya diselempangkan di
bagian dada,dan Lensu Sembar ini
memiliki motif flora dan fauna yang di buat dengan teknik lungsi.
Sedangkan
bagian pinggang menggunakan kain sarung berwarna agak gelap dengan motif garis
melintang, sarung ini biasa disebut dengan istilah Utan atau Utan Werung,
yaitu sejenis sarung berwarna gelap, bergaris biru melintang, Lipa
atau kain sarung ini kendatipun menggunakan warna-warna yang dominan gelap
namun pada bagian raginya di poles dengan warna-warna yang cerah seperti putih,
merah atau kuning.
Di
bagian kepala diberi Desatar sebagai aksesoris penutup
kepala kaum pria suku Sikka NTT, Desatar ini terbuat dari bahan
kain batik soga dan di kenakan dengan pola ikat tertentu sehingga pada bagian
ujung ujung destar jatuh ke bagian menempel pada bagian sisi wajah dekat dengan
telinga si pemakainya.
Selanjutnya adalah pakaian yang di kenakan
oleh kamu wanita yaitu di sebut dengan nama Labuliman Berun terbuat dari
kain sutra dengan kualitas tinggi, pakaian ini memiliki desain kerah atau bagian
leher yang sedikit terbuka hal ini bertujuan untuk mempermudah dalam
pemakaiannya, mirip dengan baju NTT lain di mana pada bagian depan juga
dilengkapi dengan selendang tenun yang diselempangkan di bagian depan atau
dada, selendang tersebut sering disebut dengan nama Dong.
Selain pakaian di atas, kaum wanita juga
mengenakan pakaian lain berupa Utan lewak
yang juga didesain dengan motif-motif flora dan fauna, Utan lewak terdiri dari tiga lembar kain
dengan warna dasar gelap yang dipadu dengan beberapa warna seperti putih,
kuning, coklat, biru tua atau merah yang dipasang melintang, dan cara memakai
Utan Lewak ini dengan cara menyampirkan sebagian kain di bagian depan bahu,
sedangkan tangan kanan berposisi seolah-olah menggepit bagian kain yang berada di depannya.
Warna-warna yang dipilih tersebut juga
mewakili suasana hati, adapun makna-makna magis seperti ; Warna hitam berarti
duka, coklat dan merah melambangkan keanggunan serta status sosial yang tinggi.
Di bagian kepala dihias dengan sanggul atau
tusuk konde yang terbuat dari logam berwarna keemasan, sedangkan di bagian tangannya
di lengkapi dengan aksesoris berupa kalar yang
dibuat dari bahan gading serta perak, sedangkan penggunaan kalung gading ini
disesuaikan dengan suasana pada upacara-upacara adat yang sedang digelar, serta
memiliki jumlah yang genap misalnya kalar gading dua buah dan kalar perak juga
dua buah dan seluruh kalar berjumlah empat.
Masyarakat suku Sumba bermukim di dua kabupaten yaitu Kabupaten
Sumba Barat dan Sumba Timur.
Di
wilayah ini kita masih dapat menjumpai sebuah kepercayaan khas yang masih
banyak di yakini oleh masyarakat suku Sumba asli, yaitu kepercayaan Marapu setengah leluhur setengah dewa, selain
itu Marapu juga menjadi salah satu falsafah dasar yang di jadikan sebagai
ungkapan ragam kebudayaan suku Sumba, hal itu mulai dari upacara-upacara adat,
atau tempat-tempat ibadah , rumah adat
serta senjata khas daerah.
Di
wilayah sumba timur, masih berlaku sistem strata antara kaum Maramba
(bangsawan) dengan kaum Kabisu (pemuka agama) dan juga
rakyat jelata (ata) namun yang
berlaku kini tidaklah sekuat jaman dahulu, dan perbedaan strata juga tidak
tampak nyata pada tatarias serta pakaian adatnya.
Adapun pakaian adat suku Sumba terdiri dari
susunan lembar-lembar berukuran besar untuk kaum laki-laki bernama kain hinggi sedang untuk kaum perempuan dinamakan
kain Lau ,
kain-kain tersebut mengungkapkan beberapa lambang dalam kategori status sosial,
ekonomi serta religius suku Sumba Nusa Tenggara Timur, kain hinggi
dan lau dibuat dengan teknik tenun ikat dan pahikung serta aplikasi
muti dan hada.
Pada
umumnya pakaian adat suku Sumba ini penggunaannya di sesuaikan dengan tingkat
kepentingan atau keadaan di sekitar lingkungan, dan tidak serta merta dijadikan
sebagai simbol status sosialnya.
Adapun
pakaian yang dikenakan oleh kaum pria terdiri dari beberapa bagian, diantaranya
adalah tiara patang atau penutup
kepala yang di lilitkan sedemikian rupa hingga mengeluarkan kain seperti jambul,
dan jambul tersebut biasa di posisikan di bagian depan, samping kiri maupun
samping kanan sesuai dengan maksud dan tujuan sang pemakainya.
Adapun
jambul penutup kepala mengarah ke bagian depan memiliki makna kemandirian serta
kebijaksanaan.
Kemudian
penutup bagian badan yang terdiri dari dua lembar hinggi, yaitu hinggi kombu yang di pakai di bagian pinggul
yang pemakaiannya diperkuat dengan sebuah ikat pinggang dari bahan kulit, yang
selanjutnya adalah hinggi kowaru yang di gunakan sebagai pelengkap, serta ditambahkan
dengan beberapa perlengkapan lain seperti senjata tradisional dan lain-lain.
Hinggi dan tiara dibuat dari bahan tenun
dengan teknik ikat dan pahikung, sedangkan yang dibuat dengan teknik pahikung yang
disebut juga dengan nama tiara pahudu. Hiasan yang turut
menghiasi tiara dan hinggi biasanya berkaitan dengan lingkungan makhluk hidup di
sekitarnya, dan warna-warna hinggi yang dipakai juga mencerminkan nilai-nilai
estetis serta status sosila.
Adapun Hinggi yang memiliki kualitas terbaik
adalah hinggi jenis kombu serta hinggi kowaru, hinggi panda paingu dan terakhir
adalah hinggi raukadana.
Adapun ciri-ciri pakaian adat suku sumba yang
di kenakan oleh kaum pria dilengkapi dengan sebilah senjata tradisional
yang di sebut kabiala dan kabiala ini
disematkan disebelah kiri ikat pinggang.
Sedangkan pada pergelangan tangan sebelah kiri
dipasang kanatar serta mutisalak, kabiala yang di pakai melambangkan kejantanan
bagi sang pemakainya, sementara itu mutisalak
menyatakan kesejahteraan tingkat sosial, secara umum hiasan dan penunjang
pakaian khas suku sumba nusa tenggara timur ini merupakan sebuah simbol
kearifan budaya local.
Selain jenis pakaian yang telah admin bahas di
bagian atas, masih ada lagi jenis pakaian adat yang biasa di kenakan oleh wanita
sumba timur saat menghadiri acara-acara adat, adapun pakaian tersebut adalah Lau kowaru, Lau mutikau , Lau pahudu kiku dan Lau pahudu, dan kain kain itu di kenakan dengan
sarung setinggi hingga bagian dada (lau pahudu kiku)
dan bagian bahu tertutup toba huku yang
warnanya di selaraskan dengan kain sarungnya.
Sementara itu aksesoris penutup kepala bagi
wanita suku Sumba Timur adalah Tiara dengan corak polos tanpa motif, serta di
lengkapi dengan hiduhai dan hai kara.
Dan pada bagian dahi disematkan maraga yang merupakan perhiasan yang terbuat dari
bahan logam atau pun logam yang disepuh dengan emas.
Dan sebagai aksesoris di bagian telinga di
sematkan mamuli, perhiasan berupa anting-anting
keemasan. Sedangkan aksesoris di bagian leher berupa kalung-kalung dengan warna
keemasan yang menjurai panjang sampai ke bagian dada pemakainya.
Demikian lah, artikel tentang beberapa pakaian
adat yang berasal dari beberapa suku yang ada di Nusa Tenggara Timur, semoga
bermanfaat bagi kita semu, dan salam METIF
Media Edukatif.
0 Response to "Ciri-Ciri dan Keunikan Pakaian Adat Provinsi Nusa Tenggara Timur"
Post a Comment